Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dipaksa, Dihapus


Pepatah bijak sering mengatakan, tak apa menghapus beberapa orang yang melukaimu. Kadang boleh jadi itu adalah hal yang paling baik dilakukan ketimbang membiarkannya membusuk di dalam beberapa lama. 

Namun, bagaimana jika kita dihapus dalam kehidupan seseorang. Teranggap tak pernah ada. 

Mereset memori, namun tidak semuanya. Ada bagian-bagian yang sengaja tak dibaca, diacuhkan, dihapus, dibuang bahkan termusnahkan. 

Perasaan kecewa yang muncul dianggap tidak normal, boleh jadi aku telah menumbalkan kebahagiaanku untuk orang lain. Akan tetapi, apa yang telah aku berikan semua bahkan segalanya masih bukanlah hal yang normal. 

Seberapa jauh dirimu berlari, mencari kebahagiaan di tempat lain. Segala hal itu akan kembali lagi, jika dirimu tidak menutup lubang yang sama yang membuatmu terjatuh dan tersungkur. 

Lalu, aku bertanya dalam diri ini. Absurd dan nampak ambigu, sejak kapan dan mulai dari mana diri ini terbebas dengan hal-hal yang terus mengganggu kewarasan. 

Ingin rasanya pergi ke suatu tempat di mana tidak ada seorang pun yang bisa menemukanku. 

Aku ingin ke suatu tempat di mana tidak ada orang yang mengenalku. Jauh diperasingan hidup sendirian, membenamkan perasaan hingga semuanya hilang.

Entah, bagaimana akhirnya, bagaimana ujungnya. Aku mencoba terus berjalan diantara semak belukar yang durinya menancap menembus kulit ari kakiku. 

Tak bisa ku gambarkan seberapa kecewa, dan rasa sakit duri itu kini menghanyutkan ku di satu tahun terakhir. Kembali menciptakan luka ketika terkorek kembali. 

Sudah lelah aku menangisi hal ini, sudah lelah aku. Masih banyak hal yang harus aku buat untuk bertahan. 

Jujur, aku tidak tahu ujungnya bakal seperti apa. Indah atau bagai neraka.

Penulis : Desty Luth
Foto : Hasan Nadhif



Posting Komentar untuk "Dipaksa, Dihapus"