Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Aku Ingin Berdua Saja denganmu,Tetapi Kita Wartawan


Foto : Ilustrasi Freepik.

Hidup ini kutukan. Kita harus sekolah saat sedang senang-senangnya menonton Spongebob Squarpants. Kita sekolah demi ijazah. Kita butuh ijazah agar bisa melamar pekerjaan. Kita bekerja demi bersenang-senang di awal bulan. Hidup ini kutukan.

Sialnya, kelak saya justru memilih pekerjaan terkutuk; menjadi wartawan. Saya jelaskan mengapa pekerjaan ini amat terkutuk.

Kebanyakan, pekerja lain punya Sabtu-Minggu untuk lari dari kutukan. Kenyataan ini nyaris tak didapat sebagian wartawan. Mereka adalah manusia super yang bekerja nyaris 24 jam. Tak semua peristiwa dapat di setting sesuai jam kerja yang hanya 8 jam.

Bayangkan, dengan pekerjaan terkutuk ini saya mengenal seseorang yang saya anggap "dekat" dan dia juga wartawan. Hidup ini paradoks, kami dipertemukan karena punya pekerjaan yang sama, sebaliknya, kami sering dipisahkan karena kami wartawan. Ingat, peristiwa tak mengenal jam kerja, apalagi hanya sekadar kencan.

Suatu hari, saya merencanakan nonton konser bersama mbak wartawati sebulan sebelum acara. Tentu saja, dengan tiket free acces media partner. Saya membayangkan betapa asyiknya nanti. Bersenandung sembari jawil-jawilan. 

Saya tekankan, "Kelak, kamu tidak boleh liputan di hari itu," terus begitu hingga mendekati detik-detik acara. Semua nampak berjalan sesuai rencana.

Petaka, tiba-tiba muncul jadwal pembukaan festival keroncong yang nyaris bersamaan dengan konser satu hari sebelumnya. Tetapi katanya, semua bisa diatur.

Hingga sebuah kabar meluncur di grup-grup WhatsApp para pewarta di detik-detik akhir. Satu ekor kerbau dikabarkan mati karena PMK. Istimewanya, kerbau ini adalah kerbau Keraton Solo. Saya sedang dalam perjalanan menjemputnya saat kabar beredar.

Seketika saya menjumpai ia sudah mengendarai motor dengan spion kiri retaknya, katanya ia akan liputan penting dan itu adalah kabar kerbau mati. Nasib, rencana jadi berantakan karena kabar kerbau. Sialnya, saya juga ikut liputan.

Das-des, sembari cemas saya menulis berita. Masih ada waktu ke konser yang menunjukan 15 menit lagi, pikir saya sembari menulis setengah naskah. Setelahnya, saya langsung bertolak ke lokasi, sedangkan ia terpaksa harus meliput festival keroncong yang tertunda karena mesti menjemput kabar kerbau.

Tebakan saya benar, lagu demi lagu dimainkan, ia tak kunjung datang, dan baru datang ke konser saat acara nyaris usai. Wajah saya muram, ia nampak bersalah. 

Petaka-petaka itu nyaris terjadi berbulan-bulan selama dua wartawan ini saling mengenal. Tak ada kata janjian, yang ada hanya malam tanpa peristiwa "yang kami anggap cukup penting diberitakan".

Kami bahkan pernah saling berkencan saat badan kami beraroma sampah TPA Putri Cempo. Kami hanya saling menyempatkan. Hari libur? Sesuatu yang lebih tak pasti lagi. Kami tak punya libur yang sama, karena media tak mengenal akhir pekan. Pun, sekalipun libur, kami memilih untuk tidur.

Suatu malam, saya pernah ditangisi di stasiun kereta saat saya akan keluar kota sementara waktu. Gegara ia telat datang, gerbong ekonomi saya sudah merayapi rel. Karena apa? Ia meliput pemakaman seorang tokoh. Ia baru datang saat liputannya purna bersamaan dengan keberangkatan.  Ya sudah, saya pikir, ia bakal menjemput saya pulang di stasiun nanti.

Beberapa hari saat pulang, saya clingak-clinguk mematai kursi-kursi ruang tunggu stasiun. Pikir saya, dia sudah menunggu menebus tangisnya beberapa hari lalu. Lagi-lagi, dia wartawan, ada peristiwa, dia harus liputan. Gagal maning. Seperti itu memang cerita pertemuan saya dengan mbak jurnalis.

Yah, tentu saya sebenarnya mendambakan keluar bersamanya di malam minggu seperti muda-mudi umumya. Nyaris tak pernah terjadi, karena Minggu hingga Minggu akan terus ada peristiwa.

Saya beberapa kali bertemu denganya di akhir pekan, itu pun dengan badannya yang masih berkeringat sehabis liputan.

Tak ada akhir pekan bagi kami. Namun ternyata tidak dengan orang lain. Anggapan saya tak sepenuhnya benar.

Suatu hari, saya memergoki stories WhatsApp-nya; ia nampak bersolek manis di sore hari akhir pekan untuk bertemu seseorang yang bukan saya. Pria berkemeja yang ia topengi stiker di stories tersebut.

"Loh, kamu punya waktu sekarang?" tanya saya. Ia hanya terkekeh.

Sebelumnya, saya bahkan nyaris tak pernah menjumpai dia berdandan sore hari akhir pekan. Karena dia wartawan, dia harus liputan. Kenyatannya, kami sering gagal berkencan, bukan saja karena pekerjaan, tetapi ada orang lain yang juga spesial. 

Sialan, sesaat setelahnya, saya menanyakan ke dia, "Mau liputan apa besok Senin?"

Penulis : Dicky

Posting Komentar untuk "Aku Ingin Berdua Saja denganmu,Tetapi Kita Wartawan"