Banjir di Nobatkan Menjadi Sebuah Musim di Indonesia
MATA BUDAYA- Ironi bencana
alam yang terjadi di Indonesia adalah tamparan keras kita sebagai manusia untuk
lebih peduli lagi dengan luka alam akibat keegoisan kita. Ibarat hubungan,
manusia adalah simbiosis parasitisme. Ya, ungkapan satire yang begitu menohok.
Bencana banjir adalah bencana yang sebenarnya bisa ditanggulangi, dan diprediksi. Pola permasalahan yang selalu muncul kala musim hujan datang selalu sama setiap tahunnya. Oleh sebab itu, maka akan terasa lucu jika kita sebagai manusia tidak bisa belajar dari kesalahan sebelumnya atau hanya sekedar mempersiapkan langkah apa yang harus dilakukan agar tidak jatuh kelubang yang sama, bahkan lebih terugikan. Hujan adalah anugrah rezeki dari Tuhan yang diberikan kepada setiap makhluknya.
Namun, ketika musim hujan tiba banyak oknum manusia yang mengkambing hitamkan
hujan sebagai sumber utama bencana banjir.
Permasalahan Ibu Kota Jakarta yang setiap tahunnya belum terselesaikan. Kini merambah, banyak media yang memberitakan bencana banjir dikala musim hujan.
Dari hasil rekapitulasi yang
diterbitkan oleh statistik.jakarta.go.id mengeklaim
bahwa curah hujan tertinggi pada tahun 2020. Berdasarkan Badan Klimatologi
(BMKG) musim hujan yang terjadi di 2020 adalah curah hujan yang
paling ekstrem yang diwilayah Jakarta dan sekitarnya akibat perubahan
iklim.
Padahal sebenarnya jika
ditelusuri kembali, penyebab banjir yang utama adalah pembangunan tanpa pikir
panjang. Salah satu penyebabnya seperti yang diungkapkan tempo.co yaitu akibat pembangunan AEON Mall yang menyebabkan permasalahan
aliran air dari waduk di Jakarta Garden City yang menyebabkan air meluber di
beberapa RW wilayah Cakung.
Itu hanya salah satu penyebab dari banjir yang terjadi di Jakarta. Sebenarnya masih banyak lagi seperti pemukiman di bantaran sungai, di bangunnya gedung-gedung di wilayah resapan air, atau pembuangan sampah. Lalu bagaimanakah dengan tahun ini. Banjir terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Belum terealisasinya
rencana pemindahan Ibu Kota, malah terjadi bencana alam yang tersengaja.
Awalnya wacana pemindahan
Ibu Kota di gaungkan oleh Jokowi di tahu 2019. Jokowi menganggap tata ruang Ibu
Kota yang semakin padat adalah faktor utama penyebab banjir sehingga ia
memberikan solusi dengan pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Selatan. Namun,
belum sampai terwujud, wacana itu tidak terjadi akibat munculnya permasalahan
baru pandemi covid-19. Otomatis dana untuk pemindahan Ibu Kota di
alokasikan untuk penanganan wabah covid-19.
Kini di awal tahun 2021,
solusi yang ditawarkan untuk penanggulangan bencana banjir dengan cara
pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Selatan seakan sia-sia. Lha ini mau lari dari banjir kok banjirnya malah semakin gede?
Kementrian(KLHK)
mengatakan penurunan luas hutan alam di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito di
Kalimantan Selatan sudah mencapai 62.8 %. Sebelumnya tim tanggap darurat
bencana di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga menyebutkan
bahwa penyebab banjir adalah berkurangnya hutan primer dan sekunder dalam kurun
waktu 10 tahun terakhir di keseluruhan provinsi. Rokhis Khomarudin, Kepala Pusat
Pemanfaatan Penginderaan Jauh di LAPAN
menjelaskan bahwa antara tahun 2010 hingga 2020 terjadi penurunan luas
lahan hutan primer sebesar 13.000 hektare, sawah dan semak belukar 146.000
hektare dan 47.000 hektare. Namun perkebunan meluas 219.000 hektare berdasarkan
pantauan setelit Himawari 8.
Sedangkan dari data
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan selatan, tercatat 50% dari lahan
di Kalimantan Selatan telah beralih fungsi menjadi tambang batubara dan
perkebunan sawit. Tambang 33% dan, satit 17%.
Pasalnya hampir seluruh
wilayah di Kalimantan Selatan terdampak bencana banjir ini. (Desty Luth)
Posting Komentar untuk "Banjir di Nobatkan Menjadi Sebuah Musim di Indonesia"