Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Anak Lereng Merbabu

 


Foto : Mbah Sariyem setelah mencari rumput untuk ternaknya dengan latar Gunung Merbabu / Desty Luth

MATA BUDAYA-Hidup berdampingan dengan salah satu gunung yang menjulang di Jawa Tengah adalah anugrah yang tak akan pernah terukur. Suasana yang dingin menusuk hingga ketulang namun, tidak begitu ekstrim masih cukup untuk bertahan dan bergerak melakukan aktivitas. Setiap pagiku disambut dengan kicauan burung yang asyik sahut menyahut saling mengobrol. Bagaikan ibu-ibu membeli sayur kala pagi hari, berkumpul dan menggosip ria. Bedanya, mereka bukan mencari dosa tapi malah mendapat pahala karena menghibur dan menemani masyarakat yang setiap pagi beraktivitas bersama udara segar. Nikmatnya menjadi warga yang hidup di Lereng Merbabu. Bentangan alam, ragam adat istiadat dantradisi daerah tidak lepas dari wilayah ini.

Namaku Desty, Berada di bawah Gunung Merbabu, hidup kami memang sudah erat dengan berbagai tradisi dan adat istiadat. Sudah sewajarnya, karena dulunya wilayah ini memang berada di dalam kekuasaan kerajaan. Sehingga masih banyak tradisi yang masih di lestarikan, serta peninggalan dan prasasti kerajaan jaman dahulu yang di rawat.

Sejarah Desa Tengaran

 Aku tinggal di Desa Tengaran, Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Kalau kata orang, daerahku ini disebut desa semi kota. Desa Tengaran termasuk desa yang cukup tua, nama Tengaran berasal dari kata tengara yang berarti adalah hoaks. Hoaks yang dimaksud adalah menurut Syaifudin salah satu pemuda desa yang melestarikan sejarah. Nama Tengaran diambil dari wilayah Tengaran dulunya merupakan tempat tumbuhnya oro-oro atau semak belukar. Masyarakat Tengaran percaya bahwa didalam semak belukar itu ada bangsa ghaib yang tinggal disana dan jarang bagi mereka untuk menginjakkan kaki disana.

Sedangkan jika berbicara usia desa ini, usia suatu tempat dilihat dari peninggalan sejarah, maka dari itu, berdirinya Desa Tengaran pada tahun 1784 M dilihat dari pentongan tua yang berada di Masjid Al-Ikhlas Tengaran. Masjid, ini merupakan masjid pertama di Desa Tengaran sehingga banyak barang peninggalan yang bisa menjadi rujukan bukti sejarah berdirinya Desa Tengaran.

Desaku tidak jauh dari Lereng Sisi Timur Gunung Merbabu sehingga anak-anak yang tinggal di Desa Tengaran mendapat julukan Anak Lereng, estimasi mengunjungi jalur pendakian Merbabu hanya sekitar 10 menit untuk sampai ke jalur pendakian Gunung Merbabu via Timboa. Jalur pendakian Timboa memang cukup asing bagi telinga para pendaki karena masih cukup sepi dan tidak terlalu digandrungi, apalagi ada jalur lain yang lebih landai hingga banyak dipilih pendaki pemula. Meskipun demikian, view yang ditawarkan tak kalah menarik ketika naik ke Gunung Merbabu.

            Kemajuan zaman ditempat dimana aku tinggal saat ini tidak menjadikan ku lupa bahwa aku tetaplah anak yang tinggal lereng gunung hidup diantara rimbunnya pohon, ditemani merdunya burung sahut menyahut setiap pagi. Menjalani aktivitas dengan penuh rasa semangat an menjadi anak yang hidup di lereng adalah hal yang patut disyukuri.

Menikmati Pesona Desa Tengaran

Pagi ini, hariku diawali dengan menikmati panorama matahari terbit di jalur pendakian Merbabu via Timboa. Cukup 10 menit dari rumah, aku melakukan perjalanan menggunakan sepeda motor sesudah Subuh, berniat ingin mendapatkan momentum Matahari terbit. Beriringan dengan terbitnya Matahari, suara burung saling bersahutan menyambut Matahari yang terbit dari ufuk Timur, di titik ini kita bisa melihat bentangan Gunung Lawu, Gunung Telomoyo, Gunung Andong dan Gunung Slamet yang menjulang. Ketika Mentari mulai meninggi kita akan melihat, dimana pijakan kaki itu berada di tempat puncak Gunung Merbabu terlihat begitu jelas dan terasa begitu dekat dan seakan mudah untuk menggapainya. Puas aku menikmati Matahari terbit yang mempesona.

Mentari mulai meninggi, tandanya kita harus pulang sebelum hari semakin panas atau malah tiba-tiba hujan turun begitu saja. Ya, disini hujan sering turun secara tidak terduga. Seperti halnya pernah terjadi ketika pagi yang cerah, tiba-tiba siangnya hujan dan mulai membasahi Desa Tengaran. Jadi, sebelum terjebak dan tidak bisa beraktivitas lain lebih baik aku melanjutkan perjalananku untuk pulang kerumah. 

 

Setelah sampai, dan beristirahat sebentar dirumah ternyata tidak jadi hujan. Hari ini cukup panas dan gerah, sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk berenang berniat menyegarkan badan. Mengikuti arus di sungai Serang Sari menggunakan ban dalam truk bekas yang di modifikasi sebagai pelampung, bentuk pelampung itu cukup simpel, hanya diisi angin saja dan siap digunakan untuk pelampung atau bisa juga disebut kapal-kapalan. Kegiatanku ini memang sering ku lakukan ketika aku dan teman-temanku bosan, juga untuk menikmati alam sekitar rumah dan tidak perlu jauh-jauh. Kita bisa menciptakan kebahagiaan itu sendiri, dan semua ada disekeliling kita. Lebih bermanfaat bukan ? dari pada bermain gawai yang membuat pening.

Titik awal permainan yang kami ciptakan adalah selokan sungai Serang Sari tepatnya setelah bendungan Padas Klorot. Kami memilihnya karena selain air yang melimpah lokasi ini lebih aman dibandingkan bendungannya. Jarak yang kami tempuh saat kami ngeli atau mengikuti arus sungai sekitar satu kilo meter dari bendungan. Arus aliran sungai tidak cukup deras dan berbahaya, satu buah ban maksimal digunakan oleh dua orang. Ngeli kali ini hanya tiga orang saja, aku dan dua ponakanku. Aturan dalam permainan ini adalah saat diatas ban kita tidak diperkenankan banyak gerak agar tidak jatuh atau bahkan tenggelam. Dalam perjalanan kita akan melewati beberapa jembatan kecil bahkan beberapa arus kecil yang biasanya kami anggap tantangan. Satu dua kali ban terbalik dan kami terjatuh ke air, akan tetapi alasan itu tidak membuat kami patah semangat bahkan menghentikan permainannya, justru inilah yang membuat permainan ini menjadi pusat gela tawa ku dan teman-teman. Sungguh kegiatan ini benar-benar mengasyikkan.

Setelah kelelahan kita beristirahat sebentar, aku melihat tanaman cenil atau jembak segar yang mulai meninggi, siap untuk dipanen di aliran kali gede sebutan sungai berbatu aliran sungai Serang Sari. Warga sekitar biasanya menanam cenil/jembak  disepanjang aliran sungai ini. Cenil atau jembak adalah tanaman selada air yang kaya akan manfaat. Cenil masuk dalam kategori sayuran yang biasa dikonsumsi oleh warga sekitar dan kita bisa membelinya di petani, tukang sayur, dipasar, atau bahkan mananamnya sendiri. Oh iya keberuntungan berpihak kepada ku, ada banyak tanaman Cenil yang berada di pinggir sungai, siap untuk dipanen. Kalau berada dipinggir sungai tandanya tidak ada pemiliknya, siapa saja boleh memanennya. Akhirnya aku memutuskan untuk memanen sayur cenil, lumayan bisa untuk nanti makan Sore. Setelah perburuan sayur cenil telah mencukupi. Dina adik ponakanku menyeletuk ingin pergi ke Candi Klero atau Candi Tengaran. Tidak jauh dari lokasi awal aku melakukan ngeli tiba-tiba Dina ingin mengunjungi Candi Klero. Nama Candi Klero atau Candi Tengaran diambil dari lokasi penemuannya.

Situs Peninggalan Candi Tengaran

Foto : Plang masuk situs Candi Klero / Desty Luth
 

Banyak peninggalan di Jawa Tengah menunjukan betapa kayanya sejarah kala itu. Sebagai masyarakat awam, peninggalan yang paling mencolok adalah candi, bagaimana tidak? Bentuk serta ukuran dari candi lah yang bisa menarik perhatian masyarakat. Ukuran dari candi lebih besar dari prasasti lainnya. Beberapa candi di Jawa Tengah di antaranya Candi Gedong Songo, Candi Cetho, Candi Kalasan, dan lainnya.

Namun, masih banyak yang belum mengenal salah satu candi di daerah Tengaran, yakni Candi Klero atau Candi Tengaran. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Candi Klero tidak banyak di ketahui masyarakat. Yang pertama, letaknya yang tidak terlalu strategis, ukurannya yang lebih kecil dari candi-candi lainnya, dan minimnya sejarah terkait asal muasal candi tersebut. Karena hal tersebut, banyak yang beranggapan terutama pengunjung yang berasal dari luar daerah, bahwa Candi Klero adalah sebuah bangunan yang berdiri baru saja dan di bangun untuk tujuan rekreasi. Melihat bangunan candi yang terlihat masih baru, anggapan tersebut memang tidak bisa di salahkan.

Faktanya candi ini sebenarnya sudah ada sejak Kerajaan Singosari. Terletak di Desa Ngentak, dulunya berfungsi sebagai tempat ibadah. Menurut keterangan pengelola candi, Desa Ngentak sendiri merupakan salah satu desa tua, beliau berpendapat bahwa salah satu ciri dari desa tua ialah namanya yang berawalan dari “ng”. Terlebih adanya peninggalan Candi Klero yang dulu berfungsi sebagai tempat ibadah, sudah dapat menegaskan bahwa Desa Ngentak adalah salah satu desa tua. Candi ini memang baru saja mengalami pemugaran, sehingga terlihat seperti bangunan baru.


 Foto : Bagian depan menuju Candi Tengaran

Lokasinya hanya berjarak sekitar 500 meter dari jalan Raya Solo-Semarang Candi Klero disebut juga Candi Tengaran karena lokasinya masuk di Desa Tengaran tepatnya di Dusun Ngentak, Klero, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Bangunan ini merupakan peninggalan dari kerajaan Singosari, nuansa Hindu terasa kental dalam bangunan candi, karena dalam bangunan candi terdapat alat upacara yakni Yoni dan dulunya ada Arca Siwa. Namun, sekarang Arca Siwa sudah diamankan oleh Dinas Purbakala Jawa Tengah di Semarang agar tetap terjaga.

Lokasi sekitar Candi Klero cukup asri, belum banyak rumah warga yang terbangun di sekitar area bangunan candi, namun yang sedikit membuat bulu kuduk berdiri adalah bangunan candi ini berdiri didepan makam warga sekitar Ngentak. Menurut penjaga candi dan warga sekitar, Candi Klero adalah candi yang lebih tua daripada Candi Prambanan. Untuk mengunjungi Candi Klero tidak dipungut biaya masuk sehingga cukup efisien untuk kalian pecinta plesiran sejarah. Hanya saja sejarah candi ini masih menjadi tanda tanya karena relief atau prasasti di candi ini tidak ada sejarah yang menjelaskan asal mula candi ini berdiri. Pada salah satu dinding bangunan utama terdapat satu larik tulisan menggunakan aksara jawa sudah terkikis.


 Foto : Keseluruhan bangunan candi

Struktur bangunan candi cukup unik karena lebih rendah satu meter dari tanah sekitar, sehingga dulu saat pemugaran dilakukan penggalian  kurang lebih empat meter. Candi ini tidak cukup luas, tingkat pertama berukuran sekitar 1,4 meter dengan lebar 4 x 6 meter sebagai teras candi. Bagian Candi Klero terdiri dari bagian kaki, bagian tubuh, dan bagian atap. Bagian kaki adalah teras  yang berbentuk persegi dengan ukuran 14 x 14 x 1,4 meter. Kemudian bagian atas teras terdapat tonjolan-tonjolan yang mengitari bagian tubuh candi.  Tonjolan itu dulunya diperkirakan sebagai landas (umpak) yang difungsikan sebagai penyangga tiang.

Foto : Bebatuan nampak seperti ruang tamu, terdapat batu lumpang di tengahnya / Desty Luth
 

Memasuki kompleks Candi Klero kami disambut dengan beberapa bongkah batu yang berbentuk layaknya ruang tamu. Namun, di tengah antara batu itu terdapat batu Lumpang yang disebut Mbah Lumpang Kenteng. Batu itu berbentuk seperti batu lumpang yang berada di puncak Kenteng Songo Gunung Merbabu hanya saja sedikit lebih besar, mungkin ada kaitannya. Menurut keterangan pengelola candi, adanya batu lumpang dahulu memang di gunakan masyarakat untuk bercocok tanam. Penempatan batu lumpang sendiri pasti tidak jauh dari sumber mata air. Dari keterangan tersebut, batu lumpang dan sungai di Ngentak hanya berjarak 100 meter.


 Foto : Relief candi menggunakan aksara Jawa

Masuk kedalam bangunan candi sebelum itu kita harus menaiki anak tangga yang berhias makara hampir setinggi 4 meter sampai di pintu masuk candi. Terdapat Yoni berada di bilik dalam bangunan utama candi. Dan di bagian cerat dari Yoni Candi Klero terdapat sebuah ornamen seekor ular yang sedang menyunggi kura-kura.

Foto : Bangunan  utama yang terdapat Yoni, digunakan untuk ritual keagamaan / Desty Luth
 

 Batuan di candi Klero memang sudah banyak yang diganti dengan batuan yang baru sehingga beberapa batuan memang sudah hilang. Nama candi Klero ini tidak setenar seperti candi-candi besar lainnya seperti Candi Gedong Songo, Candi Borobudur, Candi Prambanan dan sebagainya. Namun, untuk kalian yang ingin mempelajari sejarah kerajaan Jawa, candi Klero bisa dijadikan opsi untuk mengulik lebih dalam lagi mengenai kebenaran sejarah Candi Klero, karena masih sedikit artikel-artikel yang mengulik sejarah candi ini.

Menurut warga sekitar, setiap hari raya Hindu candi ini banyak dikunjungi oleh orang yang ingin Sembayang. Mereka membawa bunga, dupa, dan lilin sebagai alat ritual doa mereka. Selain itu, menurut warga sekitar setiap Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon warga juga sering mengunjungi bahkan mereka juga bermalam dalam candi tersebut untuk melakukan meditasi atau mencari wangsit. Kebanyakan pengunjung yang datang berasal dari luar kota.

Sebenarnya, masih banyak peninggalan dan prasasti yang ada di Desa Tengaran, seperti situs Watu Lumpang sungai Serang Sari dan beberapa tempat lainnya. Namun, karena minimnya bukti sejarah serta kurangnya penanganan dinas terkait terkait hal tersebut, membuat beberapa situs dilupakan begitu saja.

Menikmati Cenil / Selada Air Khas Tengaran

Foto : Beberapa anak yang berenang di Bendungan Padas Klorot, aliran sungai Serangsari/ Desty Luth
 

Waktu sudah menunjukan pukul 15.30 WIB, aku harus pulang ke rumah, sesampainya dirumah ada kejuatan yang sudah kusiapkan ke ibu, kubawakan sayur cenil sebagai bahan masakan. Seketika ku bantu ibu mengolah cenil tersebut menjadi kudapan yaitu bakwan cenil atau bakwan jembak. Rasanya kering, gurih dan cruncy sangat cocok dijadikan santapan makan sore bersama sambal bawang.

Hidup menjadi Anak Lereng gunung Merbabu, kenangan ini akan terbungkus rapi hingga saat tua nanti. Mungkin saat ini banyak anak yang kini masa kecilnya dihabiskan dengan rutinitas berdampingan dengan gawai, bergelut dengan game online dan sosial media. Sudah jarang ada yang mau memainkan permainan yang aku lakukan seperti ini. Banyak orang tua lebih memilih memanjakan anaknya dengan memberikan gawai agar lebih mudah diawasi dan lebih mudah ditenangkan saat rewel, niat menjaga anak dari dolan seharian namun terkadang berakibat over protektif pada anak, hingga ia lupa menikmati dan mengenal alam di sekitarnya. Alasannya, berbahaya, ribet, kotor akan tetapi alam tidak se-menyeramkan itu, dengan pengawasan dan pendampingan kita untuk mengenalkan anak bermain ke alam melatih hati dan jiwanya untuk lebih perasa dengan makhluk sekitar. Mungkin permainan seperti inilah yang harus di rawat dan terus dilestariakan agar anak-anak masa kini tidak kurang kebahagiaannya atau juga bisa dengan istilah MKKB (Masa Kecil Kurang Bahagia).

Aku bangga dilahirkan dan tumbuh menjadi anak  yang tinggal Lereng Gunung Merbabu, hidup berdampingan dengan alam dimengerti dan saling mengerti. Berkawan dengan langit, gunung, sungai, dan hutan menjadi kegiatan sehari-hari. Aku tidak pernah merasa bosan kegiatan harianku terasa menyenangkan. Hidup di desa dengan kearifan, budi pekerti yang luhur. Kita boleh saja pergi sejauh mungkin untuk belajar, namun sejauh mana kamu pergi tempatmu untuk pulang tetaplah untuk Desa tercinta (Desty Luth).

2 komentar untuk "Anak Lereng Merbabu"